Jakarta, CNBC Indonesia – Anggota Ombudsman RI menyebut harga ideal bawang putih di tingkat konsumen saat ini termahal seharusnya di level Rp35.000 per kg. Bukan tanpa sebab, hal ini menyusul bahwa diketahui harga bawang putih sampai di Indonesia atau landed cost berada di angka Rp23.000-Rp24.000 per kg. Ia menyebut ada selisih yang cukup signifikan antara landed cost dengan harga di konsumen.
Sedangkan, lanjut Yeka, Harga Eceran Tertinggi (HET) bawang putih sudah ditetapkan Kementerian Perdagangan (Kemendag) sejak 2019 lalu, sebesar Rp32.000 per kg.
“Karena ini komoditas strategis, pemerintah seharusnya memberlakukan hal yang sama. Di sini ada yang aneh. HET untuk bawang putih itu tidak diatur dalam sebuah regulasi peraturan menteri, berbeda dengan HET beras, gula, HET minyak goreng yang diatur berdasarkan regulasi peraturan menteri. Ini saya nggak tahu nih bawang putih aturannya itu entah surat peraturan Dirjen (Direktur Jenderal) atau apa, tetapi Kemendag mengatakan ada HET nya, tapi saya cek regulasinya itu belum ada,” kata Yeka kepada CNBC Indonesia, Kamis (4/4/2024).
Lantas, bagaimana agar persoalan tingginya harga bawang putih bisa dicegah? Menurut Yeka, dengan memberlakukan HET bawang putih.
“Artinya, pemerintah tetapkan HET bawang putih, dan ketika ditetapkan kalau misal di luar (pasaran) harganya di atas HET, itu diberikan sanksi. Siapa diberikan sanksi? Importirnya, pemasoknya siapa, kan bisa dilacak,” ujarnya.
Dengan adanya HET, kata Yeka, maka nanti pemerintah dalam komponen HET itu akan memperhitungkan berapa landed cost nya, margin importinya berapa, biaya distribusinya, margin distributor, biaya distributor ke agen berapa, dan seterusnya.
Foto: Harga bawang putih makin mahal di Jakarta, tembus Rp 50.000/kg. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Harga bawang putih makin mahal di Jakarta, tembus Rp 50.000/kg. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
|
“Nah kalau itu ditetapkan, peluang koruptif nya menjadi kecil,” tukasnya.
“Ombudsman berharap, untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik kepada konsumen, sebaiknya
Kemendag menetapkan kebijakan HET, dan sekaligus dikenakan sanksi. Tapi sanksi nya jangan ke agen atau distributor, tapi importirnya, agar importir punya kewajiban untuk jaringan rantai pasokannya,” sambungnya.
Respons Bapanas Siapkan HAP Bawang Putih
Adapun respons Ombudsman RI terkait rencana penetapan Harga Acuan Penjualan (HAP) bawang putih oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), Yeka mengaku setuju apabila regulasi tersebut dipindahkan ke Bapanas. Namun, ia tetap berharap agar yang ditetapkan itu HET bukan HAP.
“Saya sepakat itu di Bapanas, karena memang kewenangannya pengaturan bawang putih sudah di Bapanas. Nah sekarang begini, apa bedanya HET dengan HAP?” ucapnya.
“HET itu ada di beras, di telur dan daging itu HAP. Nah, kalau saya melihat ini agak rancu, mengapa untuk beras harus HET tapi untuk komoditas lain bentuknya HAP, apa bedanya?” tambah dia.
Yeka menjelaskan, HAP itu tidak ada sanksi yang mengikat apabila harga tiba-tiba melonjak naik. Berbeda halnya dengan HET, yang mana pemerintah bisa langsung memberikan sanksi tegas apabila terjadi demikian.
“HAP itu tidak ada sanksi. Nah kalau persoalannya itu, maka konsekuensinya kalau HAP mau dipakai pemerintah harus punya stok. Kan harga acuan. Kalau harga naik dari acuannya tinggi, bisa dilakukan operasi pasar. Tapi kalau HET, pemerintah nggak perlu stok, ‘priit.. siapa yang salah? Nggak boleh jual segitu’. Nah itu HET,” jelasnya.
Yeka pun mempertanyakan kesanggupan pemerintah dalam mengisi stok, apabila memang tetap HAP yang diberlakukan.
“Apa pemerintah sanggup? Nanti jangan-jangan persoalan beras saja belum selesai, muncul lagi masalah lain. Siapa lagi nanti yang mengelola? Akhirnya nanti timbul persaingan pelaku usaha, antara pelaku usaha swasta dengan BUMN. Yang satu untuk kepentingan pengendalian pasokan, yang satu untuk kepentingan pribadi. Nanti peristiwa yang terjadi di beras muncul lagi di bawang putih,” tukas dia.
Oleh karena itu, menurutnya pilihan kebijakan yang paling tepat dalam kondisi saat ini adalah memberlakukan HET ketimbang HAP pada komoditas bawang putih.
Lalu, bagaimana cara pengawasannya?
“HET itu memiliki konsekuensi. Satu, pengawasan. Dan yang kedua, komitmen rantai pasok yang dilakukan importir. Jadi importir itu nggak sembarangan. ‘Saya sebagai importir mengajukan ini barang saya, ini akan didistribusikan ke sini, dari sini ke agen ini’. Jadi kalau ada masalah nanti di situ bisa dicek, oh ini kesalahan siapa, bisa dicek, gampang ngerunutnya. Nah itu yang memungkinan HET bawang putih bisa diterapkan,” pungkasnya.
Artikel Selanjutnya
Video: Sengketa Lahan di IKN, Salah Siapa?
(wur)